Untuk memenuhi keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan
dan dalam bidang investasi pada masa kini yangmemerlukan jasa perbankan; dan
salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah giro,
yaitu simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
Namun. kegiatan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah),
oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) memandang perlu menetapkan fatwa
tentang bentuk-bentuk mu’amalah syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan giro pada bank syari’ah di dalam Fatwa DSN-MUI No : 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang
GIRO.
Ada 3 poin penting dalam fatwa tersebut
agar kegiatan giro tetap berada dalam koridor syariah, yaitu :
- Terdapat 2 jenis giro yang dipraktekkan saat ini di dunia perbankan, yaitu giro berdasarkan perhitungan bunga dan giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat, bahwa kegiatan yang boleh dilakukan adalah giro berlandaskan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah dan bukan berdasarkan perhitungan bunga.
- Walau kegiatan giro dilakukan secara Mudharabah, namun tetap perlu diperhatikan beberapa hal. Dimana :
- Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
- Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
- Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
- Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
- Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
- Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
3. Begitu pula dengan giro berdasarkan Wadi’ah, perlu diperhatikan bahwa dana
dari shahibul
maal bersifat titipan dan titipan
tersebut dapat diambil kapan saja (on
call).Selain itu tidak ada imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela
dari pihak bank.
Ketiga
poin di atas telah diadobsi oleh Bank Indonesia (BI) di dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH, tepatnya pada pasal 3
dan 4 di BAB II berkaitan Persyaratan Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana.
Pada
pasal 3, aturan BI ini mengadopsi fatwa MUI berkaitan giro yang dilakukan
secara Wadi’ah. Dimana disebutkan,
bahwa Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan
berdasarkan Wadi'ah berlaku
persyaratan paling kurang sebagai berikut:
- Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan;
- dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
- dana titipan dapat diambil setiap saat;
- tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah;
- Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.
Adapun
pada pasal 4, aturan BI mengadopsi fatwa MUI berkaitan giro yang dilakukan
secara Mudharabah. Dimana dalam
kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
- nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);
- Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan Akad Mudharabahdengan pihak lain;
- modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya;
- nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening;
- pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam Akad pembukaan rekening.
- pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap akhir bulan laporan.
- Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; dan
- Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Uraian diatas setidaknya
menjadi gambaran pengabdosian fatwa DSN MUI tentang GIRO ke dalam Aturan BI. Dengan
demikian, setiap Bank yang mengatas namakan syari’ah wajib menjalankan aturan
tersebut sebagai landasan atau patokan saat menyediakan dan menawarkan produk
giro kepada nasabah.
Belum ada tanggapan untuk "Bank Indonesia Mengadopsi Fatwa MUI tentang Giro"
Posting Komentar