Salah satu ajaran Islam mengenai
buruh adalah pemberian beban yang tidak melebihi kemampuan buruh. Al-Qur’an
telah mengga,barkan bagaimana kisah Nabi Musa as. yang bekerja di rumah Nabi
Syu’aib as., dalam QS. Al-Qashash [28] : 27 :
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
Ayat di atass secara tersirat
menunjukkan bahwa dalam pemberian kerja majikan tidak boleh mengabaikan
prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan dan kesaksamaan. Ketiga prinsip tersebut
bila diterjemahkan dengan membebani pekerja dengan suatu pekerjaan yang tidak
mampu dilaksanakan oleh pekerja tersebut, dan upah perlu diberikan kepada
pekerja setimpal dengan kerja yang dilaksanakan. Rasulullah SAW juga
memerintahkan agar memberi beban pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja dan
melarang majikan untuk membebaninya dengan pekerjaan yang tidak sanggup
dilakukannya. Di samping itu, seorang majikan dianjurkan untuk meringankan
pekerjaan buruhnya, karena hal tersebut dapat menjadi amal kebajikan bagi
pemberi kerja di hari kiamat.
Dalam hadis Abu Dzar ra.,
Rasulullah SAW bersabda :
“Telah menceritakan kepada kami Washil al-Ahdab berkata, aku mendengar al-Ma’rur bin Suwaid berkata; Aku pernah melihat Abu Dzar al-Ghifari ra yang ketika itu dia memakai pakaian yang sama (seragam) dengan budak kecilnya, kami pun bertanya kepadanya tentang masalah tersebut. Maka ia berkata: ‘Aku pernah menawan seorang laki-laki lalu hal ini aku adukan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW berkata kepadaku: ‘Apakah kamu menjelek-jelekkannya karena ibunya? Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah menjadikan mereka di bawah tangan kalian, maka siapa yang saudaranya berada di tangannya hendaklah dia memberi makan dari apa yang dia makan dan memberi pakaian dari pakaian yang ia pakai dan janganlah kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak sanggup. Jika kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak sanggup maka bantulah mereka.”
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW,
beliau bersabda :
“Seseorang hamba sahaya berhak untuk mendapatkan makanan dan pakaiannya, janganlah kalian membebani dia dengan pekerjaan yang di luar kemampuannya.”
Berdasarkan hadis di atas dapat
disimpulkan, Islam mengajarkan bahwa majikandan buruh harus saling mengakui
satu sama lain sebagai saudara seiman dan tidak ada yang bertindak sebagai tuan
dan budak. Perubahan dalam sikap majikan sesungguhnya akan memperbaiki hubungan
antara majikan dan pekerja. Jika majikan membayar upah buruhnya dengan upah
yang sesuai dan mampu menutupi kebutuhan hidupnya, buruh akan merasa
berkepentingan dengan pekerjaannya sehingga buruh akan bekerja dengan
sebaik-baiknya yang berdampak pada berkembangnya perusahaan dan memberikan
keuntungan kepada keduanya.
Jika buruh ditugaskan untuk
mengerjakan pekerjaan yang diluar kemampuan, maka buruh harus mendapatkan
pertolongan yang memadai atau didukung oleh modal dan tenaga kerja yang lebih
banyak sehingga pekerjaan tersebut lebih mudah dan ringan serta dapat
diselesaikan dengan baik. Buruh juga tidak boleh dipaksa bekerja terus menerus
dengan tidak memperhatikan waktu untuk beristirahat, karena hal tersebut bukan
hanya akan mengganggu kesehatan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan
produktivitas buruh. Selain itu, penetapan jam kerja, penciptaan kondisi kerja
yang baik, dan dilaksanakannya usaha pencegahan terhadap kecelakaan kerja,
sangat sesuai dengan semangat ajaran Islam. []
Belum ada tanggapan untuk "Pemberian Beban Kerja tidak boleh Melebihi Kemampuan dari Pekerja"
Posting Komentar