Hak milik pribadi adalah hak manusia terhadap suatu barang yang
diizinkan oleh syara’ untuk mengalokasikan atau memanfaatkannya, dan
mencegah pihak lain untuk memanfaatkannya serta memperoleh kompensasi dari
barang tersebut jika milik tersebut diambil kegunaannya oleh orang lain seperti
dibeli. Dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Islam, Afzalur Rahman
mengemukakan Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya
selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut Islam. Islam tidak
melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram.
Hak milik pribadi bagi manusia merupakan hak yang harus dihormati oleh
siapa pun. Sebab hak ini telah ditetapkan pula sebagai hak dasar yang dimiliki
setiap manusia. Kepemilikan individu dapat diperoleh melalui sebab-sebab
kepemilikan sebagai berikut :
Ihrazul Mubahat (Penguasaan Harta Bebas)
Al-mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik
yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk
memilikinya. Jadi Ihrazul mubahat adalah cara pemilikan melalui
penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain, seperti
tanah mati, ikan di laut, dan hewan liar. Nabi SAW bersabda :
“Dari Hisyam bin ‘Urwah, ia berkata; telah mengabarkan kepada ku ‘Ubaidullah bin Abdurrahman bin Rafi’, bahwa Jabir bin Abdullah telah mengabarkan kepadanya dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: Barang siapa menghidupkan lahan yang mati, maka ia mendapatkan pahala apa yang dimakan oleh segala makhluk yang mencari rezeki, dan baginya sedekah dari lahan tersebut.’ Abu Muhammad berkata; Al ‘Afiyah adalah burung dan yang lainnya.” (HR. Darmini)
Tawallud (Berkembang
Biak)
Tawallud
adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Prinsip tawallud
hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif atau benda bergerak yang
dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru seperti binatang yang dapat
bertelur, beranak menghasilkan susu, dan kebun yang dapat menghasilkan buah dan
bunga. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:
Dari Anas bin
Malik dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidaklah seorang Muslim yag bercocok
tanam, lalu tanaman tersebut dimakan orang lain atau binatang ternak, melainkan
baginya adalah sedekah. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan Hadis
tersebut, salah satu contoh harta yang berkembang adalah tanaman yang ditanam
yang kemudian menghasilkan buah-buahan yang bukan saja bernilai secara ekonomi,
namun juga bernilai kebajikan bagi manusia atau hewan yang mengambil manfaat
dari tanaman tersebut.
Al-Khalafiyah
(Penggantian)
Al-Khalafiyah
adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan
yang lama. Penggantian dibedakan menjadi:
- Penggantian atas seseorang oleh orang lain seperti pewarisan
- Penggantian benda atas benda yang lain seperti terjadi pada tadhim (pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang lain
Akad adalah
pertalian antara ijab dan Kabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan
pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat
dan berlaku luas dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi kekayaan
dibandingkan dengan sebab-sebab pemilikan di atas.
Dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi terdapat syarat yang harus
dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu, yaitu memperhatikan maslahah. Islam
mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada
masyarakat setelah memenuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga. Manusia,
secara individu memiliki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya
secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta.
Tetapi haknya itu dibatasi oleh sejumlah batasan tertentu, misalnya tidak boleh
menggunakannya semena-mena, bermewah-mewahan, dan dalam bertransaksikan tidak
boleh melakukan cara-cara yang terlarang karena manusia hanya sebagai pemegang
amanah.
Referensi :
- Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, (Jakarta: Dana Bhakri Wakaf, 1995
- Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nasution, dkk, Hadis-hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 38-42.
Belum ada tanggapan untuk "Kepemilikan Pribadi dalam Islam"
Posting Komentar