Salah
satu konsep Bank Syariah memberikan fasilitas peminjaman uang dengan
menggunakan akad qard (pinjaman). Sifat pinjaman ini bersifat sosial dan tujuan
utamanya adalah social oriented bukan untuk mengejar nilai komersial. Ilustrasi
dari model qard dapat dijelaskan
sebagai berikut. Bank Syariah memberikan pinjaman uang ke seorang nasabah
sejumlah Rp. 5 juta, maka kewajiban bagi nasabah untuk mengembalikan pinjaman ke
bank sebesar Rp. 5 juta, tanpa tambahan sepeserpun. Jika, ada tambahan maka
sudah termasuk kategori riba nasi’ah.
Adapun
agunan dalam model pinjaman qard sudah
tidak sesuai dengan hakekat dan fungsi fasilitas qard itu sendiri pada bank syariah. Karena hakekat qard pada bank syariah adalah memberikan
pertolongan pada orang yang membutuhkan dana. Asumsinya, orang yang membutuhkan
dana adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan agunan atau
jaminan dalam model qard. Fasilitas qard pada bank syariah tidak banyak
digunakan karena kurang memberikan keuntungan bagi bank syariah tersebut. Biasanya,
praktek qard dilimpahkan ke Baitul Mal yang ada di bank syariah tersebut. Saat
ini, bank syariah lebih menyukai penyaluran pembiayaan kepada nasabah yang
berbasis pada akad jual-beli, semacam murabahah, karena memberikan keuntungan
bagi pihak bank syariah.
Sekarang
bagaimana dengan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkan
oleh Bank Syariah, semisal agunan pada pembiayaan musyarakah, mudharabah
atau murabahah? Sementara ini, Bank
Syariah memang mengenakan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang
dikembangkannya. Alasan utama adanya agunan pada Bank Syariah adalah untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana pihak ketiga. Alasan
semacam ini memang dapat diterima, karena dana yang disalurkan ke masyarakat
bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana yang berasal dari
pihak ketiga yang harus dilindungi oleh pihak Bank Syariah.
Dari
perspektif fiqh, adanya agunan yang
dijalankan oleh bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan bagi
nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard) dalam proses pembayaran.
Metode semacam ini dalam kajian fiqh dikenal dengan istilah sad adz-dzari’ah. Misalnya,
dikhawatirkan nasabah tersebut mempunyai niatan yang tidak baik dengan tidak
melunasi kewajiban Dalam hal ini, agunan tersebut bukan menduduki posisi yang
diharuskan.
Sesuai
dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No
04/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah, ditegaskan bahwa “Agunan atau jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya”. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam fatwa tersebut bahwa
“Bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan yang dapat dipegang”.
Melihat
semangat yang terkandung dalam fatwa mengenai murabahah tersebut, dapat
difahami bahwa kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah bukanlah menjadi
sebuah
kewajiban. Hal ini terlihat dari
bahasa yang ada dalam fatwa tersebut hanya menggunakan
istilah “dibolehkan” dan “dapat”, bukan menggunakan istilah mewajibkan.
Selain
itu, dapat difahami pula, kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah di bank
syariah, adanya di luar syarat, bukannya di dalam syarat. Hal ini, terlihat
lain, jika dibandingkan dengan jaminan yang disyaratkan oleh bank konvensional
dalam penyaluran kreditnya. Jaminan dalam bank konvensional menjadi syarat
mutlak yang harus dipenuhi oleh nasabah.
Bahkan,
jika kita membaca lagi kelanjutan keputusan fatwa DSN-MUI mengenai murabahah tersebut,
ditemukan kejelasan makna, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi
sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. Nyatalah bagi kita sekarang, bahwa
“Bank syariah tidak bisa memaksa nasabah
untuk membayar kewajiban jika kondisinya dalam pailit, sehingga ia sanggup
kembali melunasi hutangnya”.
Berbeda
dengan apa yang terjadi di bank konvensional. Jika nasabah yang tidak mampu
melunasi kredit yang dikucurkan oleh bank konvensional, maka bank tersebut
dapat menyita agunan yang dijaminkannya. Bahkan, bank konvensional dapat melelangnya
untuk menutupi kewajiban kredit yang masih menjadi tanggungan nasabah.
Di
sisi lain, dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah tersebut ditegaskan pula,
adanya pelarangan bagi pihak nasabah yang mampu membayar untuk menunda-nunda
pembayaran. Perbuatan semacam ini termasuk sesuatu yang dilarang daram syariah
Islam.
Dari
sisi regulasi yang mengatur operasional bank syariah juga menggunakan istilah
“dapat”, bukan mewajibkan. Selengkapnya, dapatkitatelusuridi PBI No: 7/46/PBI/2005
pasal 9 ayat 1 huruf f, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
agunan tambahan selain biaya yang dibiayai Bank”.
Walaupun
begitu, bank syariah saat ini memang harus sangat selektif dalam menerapkan
praktek agunan bagi para nasabahnya. Artinya, dalam kondisi tertentu pihak bank
syariah harus betul-betul mengetahui karakteristik sang nasabah. Dan bank syariah
harus berani menetapkan agunan tidak hanya didasarkan pada materi. Lebih dari
itu, agunan atau jaminan bisa jadi dapat berbentuk rekomendasi seseorang atau
jaminan dari pihak lain.
Contohnya,
si-fulan yang kebetulan ditakdirkan Allah tidak mempunyai materi yang dapat
dijaminkan atau diagunkan untuk memperoleh satu pembiayaan dari bank syariah.
Si-fulan dapat memohon kepada seseorang yang dapat dianggap mampu untuk
memberikan jaminan atau mem- berikan agunan dalam proses pengajuan pembiayaan pada
bank syariah. Orang yang menjadi penjamin tersebut diakui oleh bank syariah
sebagai orang yang mampu (ahliyah)
dalam memberikan jaminan bagi si-fulan.
Akan
tetapi, jika kita melihat data referensi yang bersumber dari fatwa DSN- MUI dan
Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya jaminan yang dipersyaratkan oleh
pihak bank bukanlah yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang pertama dan
menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran pembiayaan adalah kemampuan
nasabah dalam mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak bank. Wallahu ‘alam bis showab.
Referensi :
- M. Nadratuzzaman Hosen, AM Hasan Ali, Bakhrul Muchtasib, Menjawab Keraguan umat Islam terhadap Bank Syari'ah, (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) Publishing, 2007), hlm. 61-64.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut