Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Bank yang Mencekek, atau Kita yang Minta di Cekek?


Telah menjadi viral, curhat seorang PNS yang katanya “dicekek” oleh Bank lokal berbasis Syariah. Curhatan ini telah dibagikan lebih 800 kali dan mendapat respon yang beragam. Ada yang menghujat Bank, ada pula yang merasa kasian terhadap yang bersangkutan.

Curhatan ini bukanlah yang pertama, banyak PNS yang memiliki permasalahan sama namun tak terpublish ke publik. Topik ini juga topik rutin yang terus mencuat setiap tahun dan berujung pada kesimpulan bahwa Bank adalah rentenir legal, bebas menguras uang.

Sebenarnya, jika boleh saya simpulkan, yang menyebabkan seseorang tercekek oleh Bank bukan murni karena Bank. Melainkan kita yang sukarela masuk ke sistem bank. Padahal kita tahu bagaimana sistem pengkreditan atau pinjaman pada Bank, baik persen bunga dan lainnya. Lantas, kenapa kita tetap meminjam uang? Bukankah sudah selayaknya pengetahuan umum ini menjadi langkah antisipasi bagi kita sehingga dapat berpikir jernih. Apa Bank itu zalim? Atau kita yang menzalimi diri sendiri?

Jika kita terpaksa menggunakan jasa Bank, cobalah melakukan beberapa langkah berikut :


Pikirkan dengan Seksama dan Istiqarah
Tak mudah berhubungan dengan Bank berkaitan kredit maupun Hutang-piutang. Banyak kasus menceritakan sitaan jaminan, diburu debt collector yang berujung hidup tak tenang. Tuntutan berpikir panjang saat dibutuhkan. Pikirkanlah sisi positif maupun negatif dari peminjaman yang akan kita lakukan. Jika bingung, maka istiqarah-lah dan itu perlu saat kita melakukan sesuatu. Apalagi disaat kita dilanda bingung dan bimbang. Seperti peminjaman uang atau pengambilan kredit pada Bank. Dengan istiqarah, kita melibatkan Allah dalam keputusan yang berefek pada ketenangan hati dan ini penting. Siapa tau, ketika kita memohon petunjuk dari Sang Khalik, Dia menunjukkan jalan untuk mendapatkan uang sehingga tidak perlu berurusan dengan pihak Bank yang amat dekat dengan Riba. 

Apalagi, di hati kita terbesit atau takut akan riba, maka saya yakin Allah melindungi hamba-Nya dari keburukan. Oleh karenanya, melibatkan Allah dalam setiap keputusan adalah hal mendasar yang mesti dilakukan seorang hamba.

Bacalah berkas yang ditandatangani dengan seksama
Saya pernah menanyakan kebeberapa teman yang bertugas di Bank. Beberapa diantara mereka bertindak pada pemberian kredit/peminjaman uang. Pertanyaan itu berupa, “apakah nasabah membaca surat-surat yang mereka tanda tangani?” Jawabannya, “Kebanyakan tidak membaca.” Jika kondisi demikian, maka sangat wajar peminjam tidak tahu menahu berapa bunga yang dikenakan perbulan, apa konsekuensi jika telat membayar, dan lainnya. Maka sangat disayangkan, dokumen penting berkaitan hutang-piutang (seakan) dianggap sepele. Padahal persyaratan yang terdapat dalam dokumen berbicara tentang masa depan pembayaran yang kita lakukan. 

Ada baiknya kita meningkatkan budaya membaca, apalagi berkaitan perjanjian kedua belah pihak agar tidak terjadi penyesalan.

Tanyakan secara mendetail segala sesuatu kepada petugas Bank
Beberapa nasabah memang ada yang bertanya, tapi (lagi-lagi) dominan tidak menanyakan secara detail. Kondisi ini bisa berakibat fatal, bahkan menjadi bom waktu bagi si peminjam. Saya yakin pihak Bank dengan sabar meladeni kita. Jika perlu, rekam. Biar tidak ada dusta di antara kita. #eh...

Kalkulasikan berapa bunga yang akan kita bayarkan selama masa peminjaman
Jangan malas melakukan perkalian, penjumlahan dan pengurangan. Kenapa? Setidaknya kita akan mendapat gambaran berapa jumlah yang kita pinjam, dan berapa jumlah yang akan kita bayar. Anggap saja jumlah peminjaman kita Rp. 300.000.000,- untuk masa pinjaman 15 tahun (180 bulan) dengan jumlah pembayaran perbulan Rp. 3.100.000,- Maka Rp. 3.100.000,- x 180 bulan = Rp. 558.000.000,- yang akan kita bayar. Dengan demikian kita kan mengetahui berapa uang yang kita pinjam dan berapa kelak uang yang akan kita kembalikan.

Jika beberapa tahap di atas telah kita lakukan, maka saya bisa pastikan, kita tidak akan terkejut saat melakukan pembayaran atas kredit yang telah kita ambil. Kita juga tak mudah melayangkan kata bahwa Bank tidak manusiawi. Saya malah meganggap Bank cukup manusiawi, karena mencari keuntungan dan tak mau rugi itu manusiawi. 

Yaaahh.. manusiawi dalam sisi negatif maksudnya.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Bank yang Mencekek, atau Kita yang Minta di Cekek?"

Posting Komentar