Kepemilikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia, bahkan hubungan-hubungan hak milik akan menentukan suatu sistem ekonomi. Dua sistem ekonomi yang telah mapan yaitu kapitalisme dan sosialisme memiliki pandangan yang berbeda mengenai hak milik. Dimana kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang lebih mementingkan hak individu dan mengesampingkan kepentingan masyarakat umum. Sebaliknya, dalam pandangan sosialisme justru meniadakan hak kepemilikan individu. Dalam sosialisme sumber daya ekonomi adalah kepemilikan kolektif masyarakat dan negara, sehingga individu-individu tidak berhak untuk memilikinya.
Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem kapitalis dan sosialis. Islam tidak pernah melupakan unsur materi dan eksistensinya, karena manusia berhak menyimpan, menyumbang, dan mewariskan hartanya untuk anaknya. Namun dalam pemahaman Islam selalu menekankan bahwa kehidupan berekonomi yang baik, dan walaupun itu target yang perlu dicapai dalam kehidupan tapi itu bukanlah tujuan akhir. Pemahaman ini merupakan garis merah antara Islam dan paham materialisme, sosialisme, dan kapitalisme.
Setiap orang dalam Islam memandang secara individu, bukan secara kolektif sebagai kelompok yang hidup dalam suatu negara. Islam memandang individu sebagai manusia, maka pertama sekali harus dipuaskan adalah kebutuhan primer secara menyeluruh. Ini dikarenakan bahwa Islam memandangnya sebagai individu tertentu yang memungkinkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sesuai kadar kemampuannya. Dengan bentuk dan pola yang demikian, maka kebutuhan manusia tak terbatas mengantarkan manusia berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan. Usaha untuk memperoleh kekayaan dan memilikinya merupakan suatu fitrah manusia dalam rangka memenusi kebutuhan manusia tersebut. Hal demikian memiliki dampak terhadap kepemilikan yang merupakan salah satu asas penting dalam sistem ekonomi yang tidak mungkin akan dibangun tanpa adanya motivasi memiliki.
Kepemilikan dalam Islam
Setiap manusia dalam pandangan Islam, berhak untuk memiliki suatu harta atau berhak mendapatkan pengalihan hak penguasaan/pemilikan atas suatu harta dari harta milik Allah. Namun sifat kepemilikan dalam Islam adalah Istikhlaf (menguasai), bukan kepemilikan mutlak. Manusia sebagai mustakhlafiin hanya diberi kekuasaan mengelola dan mendayagunakan harta. Allah SWT berfirman :
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. [QS. al-Hadid (57) : 7]
Selain itu konsep kepemilikan harus didasarkan atas keyakinan bahwa setiap orang yang memiliki kekuasaan pada hakikatnya ialah pemegang amanat. Allah SWT berfirman :
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS. Ali-Imran (3) : 26]
Seluruh harta benda hanyalah milik Allah SWT, manusia hanya berhak mengelolanya. Di dalam harta seseorang ada hak orang lain yang w
ajib ditunaikan. Allah SWT berfirman :
dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. [QS. an-Nuur (24) : 33]
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. [QS. adz-Dzaariyyat (51) : 19]
Berdasarkan ayat-ayat, maka Mustaq Ahmad dalam bukunya Business Ethics in Islam menyebutkan bahwa kepemilikan riil harus dengan izin dari Allah sebagai pemilik hakiki. Atas dasar ini, maka terdapat konsekuensinya, yaitu :
- Manusia harus menegakkan kekhalifahan itu menurut petunjuk dan aturan syari'at-Nya
- Manusia harus saling tolong menolong dan saling menangung antara sesama, dimana sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lainnya
- Menjauhi sifat boros dan mubazir dalam menggunakan harta
- Adanya peredaran harta, tidak bertumpuk pada segelintir orang saja []
Referensi :
- Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, (India, Kitab Bhavan, 1999), hlm. 44-47
- Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nasution, dkk, Hadis-hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 43-46
Belum ada tanggapan untuk "Kepemilikan Harta dalam Islam"
Posting Komentar