Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Uang di Bank Konvensional, Halal atau Haram?



Suatu hari, dalam sebuah acara seminar ekonomi dan keuangan syariah yang diadakan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), seorang peserta bertanya, “apa betul ada uang halal dan uang haram?”. Pertanyaan tersebut muncul karena ada anggapan dari penanya bahwa uang di bank konvensional itu haram dan tidak halal.

Sekilas pertanyaan ini memang sederhana, tetapi setelah dicermati membutuh-kan jawaban yang serius. Pada dasarnya, tidak ada istilah uang halal ataupun uang haram. Hal ini seperti ditegaskan oleh (Alm) Prof. KH. Ibrahim Hosen, ulama fiqh Indonesia. KH. Ibrahim Hosen melihat subtansi masalahnya ada pada perbuatan manusia, tidak pada uang itu sendiri.

Lebih lanjut KH. Ibrahim Hosen menjelaskan, sesungguhnya hukum Islam berhubungan dengan perbuatan manusia mukallaf (beriman, balligh, dan berakal), baik berupa tuntutanatau pilihan. Perbuatanmanusiamukallaftersebut dikatakan hukum oleh para ulama fiqh dengan pembagian sebagaimana kita ketahui bersama, yaitu wajib, mandub (sunnah), makruh, haram dan mubah.

Jadi, jelaslah bahwa hukum adalah berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laku. Hukum tidak berhubungan dengan benda atau zat, akan tetapi hukum hanyalah berhubungan dengan perbuatan, sehingga benda tidak bisa disifati dengan haram atau halal.

Yang dimaksud dengan uang haram dalam kaitan hukum Islam adalah uang yang diperoleh melalui jalan, cara atau pekerjaan yang dilarang oleh agama. Jadi, ungkapan uang haram adalah pengertian majazi atau kiasan. Namun, hukum Islam mensifati benda sebagai najis. Najis ini dapat dikategorikan dalam najis mughalladzah dan najis mukhaffafah, sebagaimana kita ketahui benda najis seperti air seni, tinja, darah, nanah dan daging babi.

Dengan menggunakan pendekatan halal yang bersifat lighairihi (perbuatan) dan yang bersifat li zatihi (zatnya), maka kita dapat memastikan bahwa uang haram tidak bersifat najis (li zatihi), tetapi uang haram adalah hasil perbuatan yang melanggar hukum Islam, sehingga haramnya bersifat li ghairihi (perbuatan), bukan li zatihi. Artinya, perbuatan manusia dalam memperoleh uang menjadi batas antara yang halal dan yang haram. Karena uang disepakati sebagai salah satu bentuk harta kekayaan, maka banyak aktifitas kegiatan manusia diarahkan untuk memperoleh uang tersebut. Ada sebagian manusia yang memperoleh uang tersebut dengan cara yang halal dan adapula sebagian manusia yang memperolehnya dengan cara non halal atau haram.

Ajaran Islam telah menggariskan secara tegas antara yang halal dan yang haram. Seperti dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan, al-halalu bayyinun walharamu bayyinun wabainahuma umurun musyabbihat, perkara yang halal itu sudah jelas begitupula dengan yang haram, sedangkan diantara yang halal dan haram itu ada perkara yang tidak jelas, maka hindarilah perkara yang tidak jelas.

Adapun contoh pemerolehan uang dengan cara yang  halal dalam ajaran Islam dapat melalui transaksi jual- beli. Seperti yang telah ditegaskan dalam firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275, wa ahalla llahu al-bai’a wa harrama ar-riba, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Dalam hal ini, seorang penjual akan memperoleh uang penjualan barangnya tetkala ada seorang pembeli yang mengingingkan barang tersebut. Terjadilah perpindahan hak milik dalam transaksi jual beli. Pada awalnya, barang yang diperjualbelikan merupakan milik penjual, sedangkan uang dijadikan alat transaksi adalah milik pembeli. Setelah terjadi akad jual beli, barang tersebut berpindah menjadi hak milik pembeli dan uang tersebut menjadi milik penjual.

Sedangkan contoh pemerolehan uang dengan cara haram atau non halal melalui praktek riba atau pembungaan uang. Islam secara tegas mengharamkan praktek riba. Pelakunya berarti memperoleh uang dengan cara haram.

Dalam hal ini, Allah Swt menegaskan melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw, bahwa praktek riba termasuk salah satu kategori dosa besar yang pelakunya sama halnya dengan orang yang berbuat zina.

Selaras dengan inti dari permasalahan ini, PKES telah mengkampanyekan perilaku gerakan 3 H. Gerakan 3 H ini bukan difahami sebagai bentuk perilaku halal, haram dan hantam. Tetapi, 3 H disini di fahami sebagai perilaku gerakan hidup yang mengacu pada prinsip : halal memperoleh, halal mengkonsumsi dan halal memanfaatkan.

Halal memperoleh, berarti cara mendapatkan kekayaan ataupun uang melalui jalan yang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Seperti, praktek jual beli dan sewa menyewa. Adapun perilaku memperoleh uang dengan melalui jalan non halal dapat dicontohkan dengan cara mencuri, mencopet, korupsi, atau melakukan praktek riba.

Halal mengkonsumsi, berarti cara mengkonsumsi barang atau produk yang halal. Artinya, dalam melakukan kegiatan konsumsi umat Islam harus harus selektif untuk memilih barang yang akan dikonsumsi. Umat Islam harus dapat membedakan antara barang yang halal dan barang yang haram. Berkenaan dengan hal ini, sesungguhnya barang yang halal itu jumlahnya lebih banyak dari pada barang yang haram. Barang yang haram karena subtansi yang dikandung-nya (haram li dzatihi) hanya berjumlah 4 (empat), yaitu bangkai, darah, khamr dan babi. Tetapi, saat ini sudah banyak produk olahan atau kosmetika yang tidak jarang dicampur dengan barang haram, seperti lemak babi atau gelatin. Akhir-nya, barang yang sudah tercampuri dengan unsur haram, hukumnya juga haram untuk dikonsumsi.

Halalmemanfaatkan, berarti caramemanfaatkankekayaan kita, termasuk uang yang kita miliki, sesuai dengan syariah Islam. Misalnya, memberikan nafkah keluarga, mengeluarkan zakat, berinfaq serta melakukan kegiatan investasi yang dihalalkan. Adapun kegiatan investasi  yang diperbolehkan dalam ajaran Islam dapat berupa penempatan modal atau uang di lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah dan koperasi syariah.

Lebih lanjut mengenai penjelasan mengenai uang, dalam tinjauan ilmu ekonomi Islam, diperoleh penjelasan bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar dan alat pengukur suatu nilai barang. Pemahaman mengenai uang dalam ekonomi Islam sudah pernah dikaji secara mendalam oleh beberapa ekonom muslim terkenal, diantaranya ekonom Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental, Kitab Ihya Ulumuddin. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, uang diibaratkan sebagai cermin yang tidak berwarna tetapi dapat mencerminkan warna yang ada.  Dari  pemikiran  ini dapatlah difahami bahwa uang itu hanya berfungsi sebagai alat pengukur nilai dari satuan barang. Misal, barang x nilai harganya Rp. 1000,- sedang barang y nilai harganya Rp. 5000,-. Selain itu, dari pemikiran Imam al- Ghazali di atas dapat difahami, bahwa uang juga berfungsi sebagai alat tukar-menukar barang. Sampai di sini, fungsi uang masih sejalan dengan kehendak syar’i. Tetapi, dalam  pandangan konvensional, uang tidak hanya difungsikan sebagai alat transaksi ataupun alat pengukur nilai, lebih dari itu, uang difungsikan sebagai alat spekulasi. Akhirnya, dengan fungsi spekulasi ini, arah kegiatan perekonomian konvensional menjadikan bunga sebagai instrumen dalam kegiatan spekulasi.

Di sisi lain, Imam al-Ghazali juga memberikan ilustrasi mengenai uang itu ibarat sebagai darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Jikalau darah yang mengalir dalam tubuh manusia tersebut terhenti atau tersumbat dan tidak mengalir dengan lancar, berarti manusia tersebut akan mengalami kematian atau paling tidak akan merasakan sakit dalam tubuhnya.

Begitu pula dengan uang, posisinya harus selalu berputar dalam perekonomian suatu masyarakat. Satu kesalahan besar dalam tinjauan ekonomi Islam, jika “menghentikan” perputaran uang dalam perekonomian. Dalam hal ini, Islam melarang keras penimbunan uang sehingga berakibat pada berhentinya kegiatan perekonomian.

Beberapa ekonom modern, menjabarkan pemikiran Imam al-Ghazali di atas dengan istilah flow concept. Dalam konsep ini, uang difahami sebagai sesuatu yang harus mengalir, sepertiarussungaiyangmengalir. Bukan difahami sebagai stock concept yang dapat ditahan oleh seseorang. Hal ini, yang menjadi pembeda antara uang dalam perspektif ekonomi Islam dengan uang dalam perspektif konvensional.  Para  pemikir  ekonomi  konvensional  lebih suka memposisikan uang sebagai stock concept. Pemahaman konvensional ini bertolak belakang dengan prinsip uang yang diacu dalam ekonomi Islam. Pandangan Islam mengenai uang ini sesuai dengan tuntunan dalam QS al-Hasyr [59]: 7.


Referensi :
  • M. Nadratuzzaman Hosen, AM Hasan Ali, Bakhrul Muchtasib, Menjawab Keraguan umat Islam terhadap Bank Syari'ah, (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) Publishing, 2007), hlm. 29-35.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Uang di Bank Konvensional, Halal atau Haram?"

Posting Komentar