Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Bolehkah Agunan pada Pembiayaan Murabahah?


Salah satu konsep Bank Syariah memberikan fasilitas peminjaman uang dengan menggunakan akad qard (pinjaman). Sifat pinjaman ini bersifat sosial dan tujuan utamanya adalah social oriented bukan untuk mengejar nilai komersial. Ilustrasi dari model qard dapat dijelaskan sebagai berikut. Bank Syariah memberikan pinjaman uang ke seorang nasabah sejumlah Rp. 5 juta, maka kewajiban bagi nasabah untuk mengembalikan pinjaman ke bank sebesar Rp. 5 juta, tanpa tambahan sepeserpun. Jika, ada tambahan maka sudah termasuk kategori riba nasi’ah.

Adapun agunan dalam model pinjaman qard sudah tidak sesuai dengan hakekat dan fungsi fasilitas qard itu sendiri pada bank syariah. Karena hakekat qard pada bank syariah adalah memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan dana. Asumsinya, orang yang membutuhkan dana adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan agunan atau jaminan dalam model qard. Fasilitas qard pada bank syariah tidak banyak digunakan karena kurang memberikan keuntungan bagi bank syariah tersebut. Biasanya, praktek qard dilimpahkan ke Baitul Mal yang ada di bank syariah tersebut. Saat ini, bank syariah lebih menyukai penyaluran pembiayaan kepada nasabah yang berbasis pada akad jual-beli, semacam murabahah, karena memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah.

Sekarang bagaimana dengan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkan oleh Bank Syariah, semisal agunan pada pembiayaan musyarakah, mudharabah atau murabahah? Sementara ini, Bank Syariah memang mengenakan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan utama adanya agunan pada Bank Syariah adalah untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana pihak ketiga. Alasan semacam ini memang dapat diterima, karena dana yang disalurkan ke masyarakat bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana yang berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh pihak Bank Syariah.

Dari perspektif fiqh, adanya agunan yang dijalankan oleh bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan bagi nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard) dalam proses pembayaran. Metode semacam ini dalam kajian fiqh dikenal dengan istilah sad adz-dzari’ah. Misalnya, dikhawatirkan nasabah tersebut mempunyai niatan yang tidak baik dengan tidak melunasi kewajiban Dalam hal ini, agunan tersebut bukan menduduki posisi yang diharuskan.

Sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No 04/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah, ditegaskan bahwa “Agunan atau jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya”. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam fatwa tersebut bahwa “Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang”.

Melihat semangat yang terkandung dalam fatwa mengenai murabahah tersebut, dapat difahami bahwa kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah bukanlah menjadi
sebuah kewajiban. Hal ini  terlihat  dari  bahasa  yang  ada dalam fatwa tersebut hanya menggunakan istilah “dibolehkan” dan “dapat”, bukan menggunakan istilah mewajibkan.

Selain itu, dapat difahami pula, kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah di bank syariah, adanya di luar syarat, bukannya di dalam syarat. Hal ini, terlihat lain, jika dibandingkan dengan jaminan yang disyaratkan oleh bank konvensional dalam penyaluran kreditnya. Jaminan dalam bank konvensional menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh nasabah.

Bahkan, jika kita membaca lagi kelanjutan keputusan fatwa DSN-MUI mengenai murabahah tersebut, ditemukan kejelasan makna, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. Nyatalah bagi kita sekarang, bahwa “Bank syariah tidak bisa memaksa nasabah untuk membayar kewajiban jika kondisinya dalam pailit, sehingga ia sanggup kembali melunasi hutangnya”.

Berbeda dengan apa yang terjadi di bank konvensional. Jika nasabah yang tidak mampu melunasi kredit yang dikucurkan oleh bank konvensional, maka bank tersebut dapat menyita agunan yang dijaminkannya. Bahkan, bank konvensional dapat melelangnya untuk menutupi kewajiban kredit yang masih menjadi tanggungan nasabah.

Di sisi lain, dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah tersebut ditegaskan pula, adanya pelarangan bagi pihak nasabah yang mampu membayar untuk menunda-nunda pembayaran. Perbuatan semacam ini termasuk sesuatu yang dilarang daram syariah Islam.

Dari sisi regulasi yang mengatur operasional bank syariah juga menggunakan istilah “dapat”, bukan mewajibkan. Selengkapnya, dapatkitatelusuridi PBI No: 7/46/PBI/2005 pasal 9 ayat 1 huruf f, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain biaya yang dibiayai Bank”.

Walaupun begitu, bank syariah saat ini memang harus sangat selektif dalam menerapkan praktek agunan bagi para nasabahnya. Artinya, dalam kondisi tertentu pihak bank syariah harus betul-betul mengetahui karakteristik sang nasabah. Dan bank syariah harus berani menetapkan agunan tidak hanya didasarkan pada materi. Lebih dari itu, agunan atau jaminan bisa jadi dapat berbentuk rekomendasi seseorang atau jaminan dari pihak lain.

Contohnya, si-fulan yang kebetulan ditakdirkan Allah tidak mempunyai materi yang dapat dijaminkan atau diagunkan untuk memperoleh satu pembiayaan dari bank syariah. Si-fulan dapat memohon kepada seseorang yang dapat dianggap mampu untuk memberikan jaminan atau mem- berikan agunan dalam proses pengajuan pembiayaan pada bank syariah. Orang yang menjadi penjamin tersebut diakui oleh bank syariah sebagai orang yang mampu (ahliyah) dalam memberikan jaminan bagi si-fulan.

Akan tetapi, jika kita melihat data referensi yang bersumber dari fatwa DSN- MUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya jaminan yang dipersyaratkan oleh pihak bank bukanlah yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang pertama dan menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran pembiayaan adalah kemampuan nasabah dalam mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak bank. Wallahu ‘alam bis showab.




Referensi :

  • M. Nadratuzzaman Hosen, AM Hasan Ali, Bakhrul Muchtasib, Menjawab Keraguan umat Islam terhadap Bank Syari'ah, (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) Publishing, 2007), hlm. 61-64.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Bolehkah Agunan pada Pembiayaan Murabahah?"

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus