Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Tujuan Konsumsi dalam Islam


Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai tujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Maka ketika tujuan konsumsi selalu identik dengan perolehan suatu kepuasan yang tertinggi, perlu diperhatikan apakah barang atau jasa tersebut membawa suatu manfaat (kemaslahatan) atau keburukan (kemudharatan). Hal ini dikarenakan bahwa seseorang menginginkan suatu kepuasan yang tinggi terhadap suatu barang ataupun jasa, akan tetapi barang/jasa tersebut membawa kerusakan kepada dirinya atau orang-orang disekitarnya.
Dalam Islam, tujuan konsumsi adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan tersabut dapat dikatagorikan menjadi tiga, yaitu kebutuhan primer (dharuriyyah), kebutuhan sekunder (hajiyyah) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyah).
  1. Daruriyyah : Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan (agama), akal (intelektual), keturunan dan keluarga serta harta benda.
  2. Hajiyyah : Syariah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima elemen dasar kehidupan melainkan meghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
  3. Tahsiniyyah : Syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplikasi dari daruriyah dan hijayyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.

Dalam memenuhi tiga kebutuhan tersebut, umat Islam tidak semata-mata memperhatikan aspek terpenuhinya salah satu atau semua kebutuhan. Terdapat aspek lain yang yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Pemenuhan kebutuhan (konsumsi) dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam bingkai ketaatan dan pengabdian kepada Allah akan menjadikannya bernilai ibadah yang berpahala. Sehingga konsumsi dalam Islam bukan sekedar mendapatkan kepuasan personal dan material, melainkan mashlahah. Maslahah merupakan kepuasan yang tidak saja dirasakan oleh pelaku konsumsinya tetapi juga dirasakan oleh sekelompok masyarakat. Dalam maslahah, tidak hanya terkandung kepuasan yang bersifat material ataupun sosial tetapi juga ukhrawiyah. Ini dikarenakan konsumen muslim percaya bahwa kehidupan tidak saja berlangsung di dunia saja tetapi juga diakhirat. Islam juga memberi batasan yang menjadi pengekang sekaligus pengendali seorang konsumen muslim. Adanya sedekah wajib (zakat) dan sunah, adanya larangan memakan babi, hewan yang disembelih tidak atas nama Allah, minum khamr, darah, berjudi, tidak berfoya-foya dan sebagainya merupakan wujud bahwa tercapainya tingkat kepuasan dalam berkonsumsi tidak semata ditentukan oleh besar kecilnya anggaran.

Lebih lanjut, tujuan konsumsi seseorang dalam ajaran Islam diantaranya :
Untuk mengharapkan ridha Allah SWT
Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah memberikan tuntunan kepada para hamba-Nya agar menjadikan alokasi dana sebagai bagian dari amal shaleh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhannya dan untuk mendapatkan surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Seorang muslim ketika dihadapkan dengan sumber syari’at akan mengarahkan jiwanya pada urgensi pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju akhirat yang memang menjadi tujuan orang shaleh dalam setiap aktivitas mereka. Allah SWT berfirman :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Qashash : 77).

Untuk mewujudkan kerja sama antaranggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial
Takdir manusia hidup di dunia ini berbeda-beda, ada yang ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya. Diantara mereka berada dilevel pertengahan, sementara yang lain adalah golongan atas. Ada juga sekelompok masyarakat yang ditakdirkan untuk memerhatikan kehidupan kaum miskin. Para pengambil kebijakan memiliki posisi untuk menanggung kebutuhan mereka, menyelesaikan persoalan mereka, dan bertanggung jawab atas kemiskinan mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya yang tidak akan menganiaya dan membiarkannya. Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa memudahkan satu kesulitan saudara muslim, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari berbagai kesulitan hari kiamat. Barang siapa yang menurup aib saudara muslim, maka allah akan menutupi aibnya dihari kiamat.” (HR. Muslim)

Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi
Islam telah memberikan kewajiban adanya pemberian nafkah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk dalam katagori saudara dan yang digolongkan sebagai saudara. Kewajiban memberi nafkah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pribadi yang dibentuk oleh rasa tanggung jawab akan memenuhi nafkah yang dibebankan itu. Seseorang dituntut untuk bekerja demi mewujudkan kemakmuran diri dan keluarganya, bahkan masyarakat sekitar melalui usaha dan pencarian rezeki.

Untuk meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah
Media dan sumber nafkah sangat banyak dan beragam. Negara mempunyai kewajiban untuk menjaganya, baik dengan membuka lapangan kerja, meningkatkan upah, dan juga dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang masih kekurangan.

Supaya Negara melakukan kewajibannya terhadap warga Negara yang masih miskin
Dalam hal ini, Negara lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengambil peran dengan cara :
  1. Penyediaan lapangan kerja bagi para pegangguran
  2. Pemberian nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber penghasilan serta tidak ada orang yang menjamin nafkahnya
  3. Menyediakan pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis
  4. Penyediaan tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, jompo, orang gila dan orang-orang yang terganggu mentalnya
  5. Negara harus menanggung masyarakat berkekurangan yang terancam oleh adanya bahaya kelaparan, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana ibadah, dan sebagainya.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumsi tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan semata, melainkan mashlahah untuk diri dan sekitar untuk mencapai kehidupan di alam ukhrawi. Selain itu, konsumsi dalam Islam sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah agar dapat menggapai falah (sukses dunia dan akhirat).


Referensi :
  • Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam (Perspektif Maqashid Al-Syari’ah), (Jakarta : Kencana, 2014)
  • Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana, 2007)
  • Indri, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi)
  • Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta : Erlangga, 2012)
  • Dede Nurohman, Memahami Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Teras, 2011)


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tujuan Konsumsi dalam Islam"

Posting Komentar