Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Buruh Dalam Pandangan Islam

Persoalan buruh atau ketenagakerjaan merupakan persoalan yang cukup banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik ekono, pemerhati hukum, maupun pengambil kebijakan. Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam, sangat memperhatikan buruh. Islam datang pada suatu aman yang penuh dengan kezaliman, penindasan, ketidakadilan, dan ketimpangan ekonomi sehingga masyarakat digolongkan ke dalam kelompok-kelompok kecil berbasis suku dan kabilah. Struktur yang seperti ini memunculkan stratifikasi sosial yang kuat. Muncul satu keluarga yang memiliki status sosial sangat tinggi yang memperkerjakan msyarakat dengan status sosial yang lebih rendah. Stratifikasi sosial yang demikian pada akhirnya menjadikan kehormatan seseorang ditentukan oleh asal usul keluarga dan menciptakan perbudakan.

Kedekatan sejarah Islam dengan buruh juga dapat dilihat dari perjalanan Nabi Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Nabi adalah orang yang dipercaya oleh Penduduk Mekkah untuk mengembalakan kambing mereka. Menginjak dewasa, Nabi pun tetap akrab dengan pekerjaan buruh, dengan profesinya sebagai pembantu saudagar Khadijah, untuk memasarkan dagangannya di luar daerah. Sejarah mencatan, sebagai seorang buruh, Nabi melakukan pekerjaannya dengan penuh komitmen, kejujuran dan skill marketing yang luar biasa. Keuletannya dalam berdagang berdampak pada bertambahnya keuntungan yang didapat majikan, sehingga Khadijah pun membalasnya dengan insentif yang lebih. Bukan hanya dalam bentuk harta, bahkan Nabi juga dipinang untuk dijadikan pendamping hidupnya.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keharmonisan buruh-pengusaha harus difalitasi oleh negara secara adil. Meski Islam tidak pernah menawarkan bentuk ideal suatu negara, tetapi agama Islam memberikan rambu-rambu bagaimana suatu negara disebut sebagai negara islami dalam makna substantif. Negara adalah pemerintahan yang melindungi warga negaranya, bersikap adil, serta memenuhi hak-hak orang miskin dan teraniaya. Menurut Imam Ghazali, setidaknya ada 5 hak warga yang harus dilindungi oleh negara, yaitu hak hidup dan keselamatan jiwa raga, menjalankan keyakinan, menggunakan akal budi, harta benda, serta kehormatan dan keturunan. Negara wajib menjaga kemalahatan warganya.

Bagi lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang tidak mengindahkan buruh, mereka ini masuk dalam katagori pendusta agama. Ciri-ciri mereka yakni antisosial, dengan tidak memedulikan anak yakin, ekonomi dan sosial, serta orang miskin secara politik. Allah berfirman dalam QA. Al-Ma'uun (107) : 1-3 :
Tahukan kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Sedangkan dalam QS. At-Takatsur (102) : 1-8, Allah menyindir pengusaha yang terus menumpuk harta dan mengabaikan nasib buruhnya dan termasuk calon penghuni neraka jahanam. Karena itu, sudah saatnya buruh diposisikan secara sejajar dengan manajemen (pengusaha) sebagai mitra yang juga mempunyai hak untuk diperlakukan layak dalam hal upah, jasa, kesehatan, dan keamanannya dalam bekerja.

Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah upah atau gaji dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak, upah atau gaji ditetapkan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun, setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerja sama mereka. Dalam perjanjian kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain juga tidak merugikan kepentingannya sendiri.

Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa upah setiap orang harus ditentukan berdasarkan kerja dan sumbangsihnya, sebagaimana Allah befirman dalam surah Ali Imran ayat 161 yang artinya : 
...kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus diberi imbalan penuh sesuai hasil kerjanya dan tidak seorang pun yang harus diperlakukan secara tidak adil. Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai sumbangsihnya, sementara majikan (atasan) harus menerima keuntungannya sesuai dengan modal dan sumbangsihnya. Dengan demikian, setiap orang memperoleh bagiannya dan tidak seorang pun dirugikan (tidak dianiaya dan tidak pula menganiaya). 

Islam juga mendorong kita untuk bersikap jujur dan adil kepada setiap manusia dalam segala hal, Allah berfirman :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. [QS. An-Nisaa' (4) : ayat 58]
Berdasarkan ayat ini, dapat dijelaskan bahwa setiap manusia harus bersikap jujur dan adil dalam segala hal, karena Allah mengetahui apa yang dikerjakan setiap manusia. Dalam hal gaji juga demikian, setiap pembagian harus dilakukan dengan jujur ada adil sehingga setiap pekerja akan memperoleh apa yang menjadi haknya.

Islam tidak membenarkan upah atau gaji berada di bawah tingkat minimun yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok kelompok pekerja, dan juga tidak membenarkan adanya kenaikan upah dan gaji yang melebihi dari apa yang telah diberikan para pekerja. Dalam QS. An-Najm [53] ayat 39 disebutkan bahwa :
Dan, bahwasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya
Ayat ini menetapkan tentang apa yang dapat dituntut para pekerja, upah maksimum yang mereka tuntut harus sesuai dengan apa yang telag mereka sumbangkan dalam keberhasilan bersama faktor-faktor produksi lainnya. Dalam artian, upah atau gaji yang diperoleh setiap pekerja harus sesuai dengan apa yangtelah diberikan kepada perusahaan. Selain itu, gaji juga harus diberikan tepat waktu dan tidka menundanya. 



Referensi :
  • Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nasution, dkk, Hadis-hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 86-90.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Buruh Dalam Pandangan Islam"

Posting Komentar