Perlu sesuatu? Ketik dan Telusuri di sini...

Pedoman dalam Mengambil Keuntungan (Laba) dalam Islam


Di dalam shahih Bukhari disebutkan sebuah hadis dari Urwah al-Bariqi, yang menggambarkan salah satu cara memperoleh keuntungan :
"Dari Urwah al-Bariqi, bahwasanya Rasulullah SAW memberinya uang satu dinar untuk membeli seekor kambing. Dengan uang dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga 1 dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi SAW dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah SAW mendoakan keberkahan pada perniagaan Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya."
Dalam hadis tersebut dijelaskan, bahwa Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah SAW untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tibaa seorang lelaki menghampirinya dan menawar kamving tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudia ia menghadap Rasulullah dengan membawa uang satu dinar dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ua bercerita kejadiannya, maka beliau pun berdo'a : "Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya."

Berkenaan dengan tidak adanya ketentuan tentang jumlah profit, dalam hadits lain disebutkan bahwa Subeir bin 'Awwan, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, pernah membeli sebidang tanah di daerah 'Awali Madinah dengan harga 170.000 dan menjualnya dengan 1.600.000. Dengan demikian, berarti Zubeir menjual tanah tersebut dengan harga sembilan kali lipat darinharga beli.

Dalam perspektif ulama fiqh, terdapat perbedaan pendapat tentang ketentuan profit yang dibolehkan. Sebagian ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa maksimal profit dalam perdagangan yaitu sepertiga (sulus), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harya yang dapat diwasiatkan yaitu sepertiga (sulus). Akan tetapi pendapat ini tidak dapat diterima dengan 2 alasan : Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan batas maksimal sepertiga tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatas) terhadap kemutlakan. Sebab sabda tersebut terkait wadiat dan bukan perdagangan. Kedua, penetapan batas maksimal sepertiga bertentangan dengan nash-nash syariah yang membeolehkan laba lebih dari sepertiga, seperti hadits Urwah dan Zubeir bin 'Awwan yang menjual tanah di daerah 'Awali Madinah dengan harga sembilan kali lipat dari harga beli.

Terlepas dari besaran keuntungan yang diambil, Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil laba. Ali bin Abi Thalib pernah menjajakan susu di pasar Kufah dan beliau berkata, "Wahai para saudagar! Ambillah (laba) yang pantas maka kamu akan selamat, dan jangan kamu menolak laba kecil karena itu akan menghalangi kamu dari mendapatkan yang banyak." ibnu Khaldun pernah berkata, "Sesungguhnya laba itu hendaklah kelebihan kecil dari modal awal, karena harta jika banyak semakin besar labanya. Karena jumlah yang sedikit jika dimasukkan ke dalam jumlah yang banyak, ia akan menjadi banyak."

Pernyataan Ali dan Ibnu Khaldun di atas mengisyaratkan bahwa batas laba ideal dapat dilakukan dengan merendahkan harga. Keadaan ini sering menimbulkan bertambahnya jumlah barang dan meningkatkannya peranan uang yang berefek pada pertambahan laba.

Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Husain Syahatah dalam bukunya Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam menjelaskan, bahwa perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan, yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qana'ah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit, maka niscaya akan meningkatkan volume penjualannya. Selain itu, dengan meningkatnya volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak dan akan menimbulkan berkah.

Begitu pula dengan Yusuf al-Qardhawi, yang menyebutkan bahwa hakikatnya, orang yang mengikuti dan mengkaji Sumnah Rasul dan sebelumnya telah meneliti Al-Qur'an niscaya tidak akan mendapatkan satu nash pun yang mewajibkan atau menganjurkan batas keuntungan tertentu seperti sepertiga, seperempat atau sebagainya. Hal ini dikarenakan bahwa pembatasan profit dengan batasan tertentu dalam perdaganga nterhadap semua jenis barang, baik pada semua lingkungan, waktu dan kondisi merupakan hal yang tidak dapat mewujudkan keadilan.





Referensi :

  • Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Yordania : Bintu al-Afkar ad-Dauliyah, 2008), hlm. 409.
  • Husain Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2001), hlm. 160.
  • Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hlm. 594.
  • Isnaini Harahap, dkk, Hadis-hadis Ekonomi, (Jakarta : Prenamedia Group, 2015), hlm. 93-95.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pedoman dalam Mengambil Keuntungan (Laba) dalam Islam"

Posting Komentar